Bagi pria dewasa, istri tak ubahnya air bagi ikan. Ikan bisa mati tanpa air. Begitu pula lelaki, tanpa istri bisa mati kedinginan. Maka sejak wanita banyak diekspor jadi babu oleh rintisan Menaker Sudomo di tahun 1983, banyak lelaki yang “tabrak sana tabrak sini” karena tak tahan mati kedinginan. Maka meskipun TKI/TKW digelari pahlawan devisa, sebetulnya di sisi lain banyak suami di tanah air yang mengalami devisit moral.
Sampel terakhir mungkin Subianto dari Desa Karangtengah, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap (Jateng). Di kala usia demikian muda dan enerjik, dia harus dipisahkan dari istri, gara-gara memburu dollar Singapura. Paling celaka, di rumah dia dibebani tugas baru sebagai “baby siter”, karena saat sang istri berangkat ke Negeri Singa ninggal bayi usia 1 bulan. Dan ini pula yang selalu dipertanyakannya, seperti apa sistem rekrutmen TKI/TKW ini? Masa iya sih, wanita ninggal bayi merah diberangkatkan juga.
Ya, sejak istri jadi TKI, Subianto benar-benar jadi “baby siter” tanpa bayaran. Mandikan bayi, menyuapi makan, ganti popok dan menggendong ke sana kemari; itu sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Bila si Upik menangis, Subianto pun langsung menghibur dengan lagu-lagu yang diketahuinya. “Timang timang, anakku sayang, buah hati ayah ‘nda seorang, jangan marah dan jangan merajuk sayang, jikalau bapak kesal kamu kutendang………..”
Dua bulan jadi “baby siter” amatiran, Subianto kenal cewek baru, namanya Narti. Dia masih tetangga desa juga. Dia begitu perhatian pada si bayi, sehingga sering pula dia membantu momong. Bahkan ketika hubungan itu sudah semakin akrab, Subianto yang kesepian mencoba gantian menggendong bayi Narti kelahiran 23 tahun lalu. Ternyata yang “digendong” tak keberatan juga, sehingga Subianto pun semakin mbagusi macam Mbah Surip almarhum. “Tak gendong ke mana-mana, tak gendong ke mana-mana, I love you full…..,” ujar Subianto yang sudah beberapa kali “nggendong” Sunarti.
Ketika Narti sudah menjadi WIL-nya, hidup Subianto tak merasa kesepian lagi. Tapi dasar nasib, baru sebulan bertabur asmara, mendadak Sunarti pamitan bahwa dapat pekerjaan baru di Jakarta. Ingin sebetulnya Subianto melarang, tapi tak kuasa. Maka ketika sang WIL benar-benar meninggalkannya, dia hanya bisa berurai air mata. Inilah patah hati kali pertama sepanjang hidupnya.
Seminggu ditinggal WIL, dan kini harus bergelut jadi “baby siter” kembali, sungguh membuat diri Subianto stress berkepanjangan. Kenapa Tuhan menciptakan dirinya jadi “lebai malang”? Ingin dia bunuh diri, tapi anak semata wayangnya siapa yang ngurus? Pusing tak memperoleh solusi, akhirnya Subianto memilih menggantung si Upik di kamar. Habis itu dia menyusul gantung diri pula di sampingnya. Jadilah ayah dan anak kompak kembali ke alam baka. Tinggalah keluarga Subianto yang kelabakan dibuatnya.
Dimakamkan satu liang lahat, nggak? (HS/Gunarso TS)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar