Kendati
film “2012″ banyak mengundang polemik, agaknya sutradara film
Hollywood, Roland Emmerich, sudah berpikir dua kali untuk
meluluhlantakkan dunia. Buktinya, sutradara spesialis pembuat
kehancuran itu hanya berani “membalikkan” Patung Liberty, Gedung Putih,
Empire State Building, dan Patung Yesus Sang Penebus yang semuanya di
Amerika, bahkan Basilika Santa Peter di Vatikan.
Namun, sutradara film “Independence Day” dan “The Day After Tomorrow” itu tampaknya tidak berani “menghabisi” Ka`bah di Mekkah, Arab Saudi, kecuali menampakkan ribuan Muslim yang menziarahi “Rumah Allah” (Baitullah) saat itu, lalu ada kehancuran di lokasi lain. Barangkali, sutradara kelahiran Jerman itu belajar dari “kehancuran” WTC di New York, Amerika pada 11 September 2001 dan serangkaian “ledakan” di banyak negara, termasuk “ledakan” di Bali dan Jakarta (Indonesia).
Sikap hati-hati Emmerich terhadap Ka`bah itu agaknya tidak menyurutkan perlawanan terhadap film “2012″, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang dan Situbondo (Jawa Timur) mendesak film itu dihentikan peredarannya. MUI Kabupaten Malang “melarang” film itu. “Mengenai kapan terjadinya hari kiamat merupakan kuasa dari Sang Pencipta. Jadi, kita tidak boleh menentukan hari ataupun tahunnya. Jika hal itu terjadi maka bisa menyesatkan,” kata Ketua MUI Kabupaten Malang, K.H. Mahmud Zubaidi di Malang (16/11).
Idem dengan itu, MUI Kabupaten Situbondo juga melakukan razia peredaran film “2012″ di sejumlah warung internet (warnet), karena film itu dinilai mempengaruhi akidah umat Islam dan meresahkan masyarakat setempat. “Setiap orang bisa mengunduh film 2012 itu melalui internet dengan mudah sehingga penyebaran yang semakin luas dikhawatirkan akan meresahkan umat Islam,” kata Ketua MUI Situbondo KH Abdullah Faqih Gufron di Situbondo (17/11).
Meski diprotes, film yang juga “mematikan” Presiden Amerika dalam kerumunan barak pengungsian akibat bencana yang “mencampakkan” negara adikuasa itu agaknya tidak sepi dari nilai-nilai moral. Tentang tahun 2012, film berakhirnya dunia itu tidak memastikan angka tahun seperti itu, namun bersandar dari kearifan lokal dari peradaban bangsa Maya di Guatemala dari masa pra-Colombus atau mulai dari abad ke-6 Sebelum Masehi (SM) hingga abad ke-9 Masehi.
Konon, lenyapnya bangsa Maya itu masih menyisakan sekitar satu juta generasi terakhir mereka dan di antaranya ada yang menjadi ahli geologi. Ahli geologi yang keturunan bangsa Maya itu bersahabat dengan peneliti Amerika, sehingga taksiran Bangsa Maya bahwa umur dunia akan berakhir pada habisnya penanggalan mereka pada 21 Desember 2012 itu pun terdengar di Amerika.
Nilai moral Amerika
Kisah dalam film “2012″ itu bermula dari dua orang sahabat yakni Dr Adrian Helmsley (peneliti Amerika) dan seorang ahli geologi India yang keturunan Bangsa Maya. Keduanya menemukan bahwa inti bumi mulai mencair dan hal itu diperkirakan akan memicu bencana alam maha dahsyat, kemudian peneliti muda Dr Adrian pun membocorkan fenomena alam itu kepada pemerintah.
Akhirnya, pemerintah Amerika secara diam-diam menggalang dana dari orang-orang kaya di dunia untuk membiayai pembangunan “kapal selam” raksasa demi menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran pada 2012 itu. Dalam film itu, Emmerich menampilkan banyak tokoh yang menyikapi “2012″ secara pro dan kontra yakni Jackson Curtis (penulis novel fiksi ilmiah) yang kontra, kemudian Jakson Curtis bertemu dengan Charlie Frost (penyiar radio) yang pro atau memercayai kiamat pada tahun 2012.
Namun, kepercayaan Charlie yang terbukti, karena di berbagai belahan Amerika terjadi tanah yang mulai retak, gempa-gempa di mana-mana, bangunan hancur, tsunami di mana-mana, mobil-mobil remuk, meteor-meteor yang berapi pun menghunjam bumi, dan manusia-manusia pun lari berhamburan.
Alur cerita dalam film itu tidak banyak berbeda dengan kisah Nabi Nuh dalam Al Quran. Nabi Nuh membangun kapal raksasa untuk menyelamatkan peradaban saat serangan air bah terjadi, bahkan “kapal selam” ala Emmerich dan kapal raksasa buatan Nabi Nuh itu sama-sama mengangkut berbagai spesies binatang dan berbagai etnis manusia.
Bahkan, film yang menonjolkan kepemimpinan Amerika dalam mengordinir pembuatan “kapal selam” dan mengordinir “isi” dari kapal dari berbagai etnis manusia di bumi itu, memunculkan nilai-nilai moral ala Amerika. Nilai-nilai yang muncul antara lain Presiden Amerika yang tidak mau “dievakuasi” dalam kapal selam itu dan justru menemani rakyatnya yang mengungsi akibat serangkaian bencana yang melanda, sehingga Presiden Amerika itu pun “mati” dalam “kiamat” itu.
Selain itu, tokoh Dr Adrian Helmsley (peneliti muda Amerika) yang mementingkan rakyat kecil untuk diiikutkan dalam kapal selam itu dan bukan hanya kalangan elite seperti presiden dan menteri dari berbagai belahan dunia. “Kita tidak hanya membangun peradaban dengan segelintir manusia, tapi kita akan membangun kehidupan baru dengan peradaban kemanusiaan yang baru pula,” kata Andrian kepada para elite yang menumpang `kapal selam` itu.
Pandangan itu dibenarkan sosiolog Islam Prof Dr H Nur Syam MA. “Film itu hanya fiksi untuk memenuhi rasa ingin tahu, apalagi media massa memberi imbas yang mempengaruhi rasa penasaran itu, karena itu tak perlu dilarang. Agaknya, film “2012″ itu tidak akan menduniawikan kiamat atau mendangkalkan akidah, sebab masyarakat yang menonton film itu sudah tahu bahwa film itu hanya fiksi, bahkan film itu bermanfaat dengan adanya nilai-nilai moral yang diselipkan, seperti mengakui kearifan lokal, mementingkan rakyat, dan mengutamakan kemanusiaan. (Sumber Antara)
SUMBER
Namun, sutradara film “Independence Day” dan “The Day After Tomorrow” itu tampaknya tidak berani “menghabisi” Ka`bah di Mekkah, Arab Saudi, kecuali menampakkan ribuan Muslim yang menziarahi “Rumah Allah” (Baitullah) saat itu, lalu ada kehancuran di lokasi lain. Barangkali, sutradara kelahiran Jerman itu belajar dari “kehancuran” WTC di New York, Amerika pada 11 September 2001 dan serangkaian “ledakan” di banyak negara, termasuk “ledakan” di Bali dan Jakarta (Indonesia).
Sikap hati-hati Emmerich terhadap Ka`bah itu agaknya tidak menyurutkan perlawanan terhadap film “2012″, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang dan Situbondo (Jawa Timur) mendesak film itu dihentikan peredarannya. MUI Kabupaten Malang “melarang” film itu. “Mengenai kapan terjadinya hari kiamat merupakan kuasa dari Sang Pencipta. Jadi, kita tidak boleh menentukan hari ataupun tahunnya. Jika hal itu terjadi maka bisa menyesatkan,” kata Ketua MUI Kabupaten Malang, K.H. Mahmud Zubaidi di Malang (16/11).
Idem dengan itu, MUI Kabupaten Situbondo juga melakukan razia peredaran film “2012″ di sejumlah warung internet (warnet), karena film itu dinilai mempengaruhi akidah umat Islam dan meresahkan masyarakat setempat. “Setiap orang bisa mengunduh film 2012 itu melalui internet dengan mudah sehingga penyebaran yang semakin luas dikhawatirkan akan meresahkan umat Islam,” kata Ketua MUI Situbondo KH Abdullah Faqih Gufron di Situbondo (17/11).
Meski diprotes, film yang juga “mematikan” Presiden Amerika dalam kerumunan barak pengungsian akibat bencana yang “mencampakkan” negara adikuasa itu agaknya tidak sepi dari nilai-nilai moral. Tentang tahun 2012, film berakhirnya dunia itu tidak memastikan angka tahun seperti itu, namun bersandar dari kearifan lokal dari peradaban bangsa Maya di Guatemala dari masa pra-Colombus atau mulai dari abad ke-6 Sebelum Masehi (SM) hingga abad ke-9 Masehi.
Konon, lenyapnya bangsa Maya itu masih menyisakan sekitar satu juta generasi terakhir mereka dan di antaranya ada yang menjadi ahli geologi. Ahli geologi yang keturunan bangsa Maya itu bersahabat dengan peneliti Amerika, sehingga taksiran Bangsa Maya bahwa umur dunia akan berakhir pada habisnya penanggalan mereka pada 21 Desember 2012 itu pun terdengar di Amerika.
Nilai moral Amerika
Kisah dalam film “2012″ itu bermula dari dua orang sahabat yakni Dr Adrian Helmsley (peneliti Amerika) dan seorang ahli geologi India yang keturunan Bangsa Maya. Keduanya menemukan bahwa inti bumi mulai mencair dan hal itu diperkirakan akan memicu bencana alam maha dahsyat, kemudian peneliti muda Dr Adrian pun membocorkan fenomena alam itu kepada pemerintah.
Akhirnya, pemerintah Amerika secara diam-diam menggalang dana dari orang-orang kaya di dunia untuk membiayai pembangunan “kapal selam” raksasa demi menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran pada 2012 itu. Dalam film itu, Emmerich menampilkan banyak tokoh yang menyikapi “2012″ secara pro dan kontra yakni Jackson Curtis (penulis novel fiksi ilmiah) yang kontra, kemudian Jakson Curtis bertemu dengan Charlie Frost (penyiar radio) yang pro atau memercayai kiamat pada tahun 2012.
Namun, kepercayaan Charlie yang terbukti, karena di berbagai belahan Amerika terjadi tanah yang mulai retak, gempa-gempa di mana-mana, bangunan hancur, tsunami di mana-mana, mobil-mobil remuk, meteor-meteor yang berapi pun menghunjam bumi, dan manusia-manusia pun lari berhamburan.
Alur cerita dalam film itu tidak banyak berbeda dengan kisah Nabi Nuh dalam Al Quran. Nabi Nuh membangun kapal raksasa untuk menyelamatkan peradaban saat serangan air bah terjadi, bahkan “kapal selam” ala Emmerich dan kapal raksasa buatan Nabi Nuh itu sama-sama mengangkut berbagai spesies binatang dan berbagai etnis manusia.
Bahkan, film yang menonjolkan kepemimpinan Amerika dalam mengordinir pembuatan “kapal selam” dan mengordinir “isi” dari kapal dari berbagai etnis manusia di bumi itu, memunculkan nilai-nilai moral ala Amerika. Nilai-nilai yang muncul antara lain Presiden Amerika yang tidak mau “dievakuasi” dalam kapal selam itu dan justru menemani rakyatnya yang mengungsi akibat serangkaian bencana yang melanda, sehingga Presiden Amerika itu pun “mati” dalam “kiamat” itu.
Selain itu, tokoh Dr Adrian Helmsley (peneliti muda Amerika) yang mementingkan rakyat kecil untuk diiikutkan dalam kapal selam itu dan bukan hanya kalangan elite seperti presiden dan menteri dari berbagai belahan dunia. “Kita tidak hanya membangun peradaban dengan segelintir manusia, tapi kita akan membangun kehidupan baru dengan peradaban kemanusiaan yang baru pula,” kata Andrian kepada para elite yang menumpang `kapal selam` itu.
Pandangan itu dibenarkan sosiolog Islam Prof Dr H Nur Syam MA. “Film itu hanya fiksi untuk memenuhi rasa ingin tahu, apalagi media massa memberi imbas yang mempengaruhi rasa penasaran itu, karena itu tak perlu dilarang. Agaknya, film “2012″ itu tidak akan menduniawikan kiamat atau mendangkalkan akidah, sebab masyarakat yang menonton film itu sudah tahu bahwa film itu hanya fiksi, bahkan film itu bermanfaat dengan adanya nilai-nilai moral yang diselipkan, seperti mengakui kearifan lokal, mementingkan rakyat, dan mengutamakan kemanusiaan. (Sumber Antara)
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar